Murajaah Al-Qur’an saat Haid
![]() |
| Ilustrasi (Pinterest) |
Murajaah Al-Qur’an adalah salah satu kewajiban yang harus dilakukan oleh para penghafal Al-Qur’an agar tidak melupakan hafalannya. Murajaah berarti mengulang-ulang bacaan Al-Qur’an yang telah dihafal, baik dengan cara membaca, mendengar, atau mengingatnya dalam hati. Murajaah sangat penting untuk menjaga kesegaran dan kekuatan hafalan, serta untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi.
Namun, bagaimana jika seorang penghafal Al-Qur’an adalah seorang wanita yang sedang mengalami haid? Apakah ia boleh melakukan murajaah Al-Qur’an di tengah haidnya? Apakah ada batasan atau syarat tertentu yang harus dipenuhi? Bagaimana jika ia khawatir akan lupa hafalannya jika tidak melakukan murajaah? Apa pendapat para ulama tentang masalah ini?
Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin sering muncul di benak para wanita penghafal Al-Qur’an, terutama yang masih muda dan belum memiliki pengalaman banyak dalam menghadapi haid. Haid adalah suatu kondisi alami yang dialami oleh wanita setiap bulannya, yang menandakan bahwa ia telah dewasa dan siap untuk mengemban tanggung jawab sebagai istri dan ibu. Haid juga merupakan salah satu rahmat Allah SWT yang memberikan kelonggaran dan keringanan bagi wanita dalam beribadah, seperti tidak wajib shalat dan puasa.
Namun, di sisi lain, haid juga membawa beberapa larangan dan pembatasan bagi wanita, salah satunya adalah larangan menyentuh dan membaca Al-Qur’an. Larangan ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam surat Al-Waqi’ah ayat 79:
إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ فِي كِتَابٍ مَّكْنُونٍ لَّا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ
Artinya: “Sesungguhnya Al-Qur’an itu adalah kitab yang mulia, (yang ditulis) dalam kitab yang terpelihara, tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.” (QS. Al-Waqi’ah: 77-79)
Ayat ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang sangat agung dan suci, yang hanya boleh disentuh dan dibaca oleh orang-orang yang suci dari hadats besar dan kecil. Hadats adalah suatu hal yang menghilangkan kesucian seseorang, seperti buang air kecil, buang air besar, kentut, tidur, junub, haid, dan nifas. Orang yang berhadats harus melakukan wudhu atau mandi wajib terlebih dahulu sebelum ia boleh menyentuh atau membaca Al-Qur’an.
Larangan ini juga dikuatkan oleh hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi:
عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَقْرَأُ الْجُنُبُ وَلَا الْحَائِضُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ
Artinya: "Dari Ali RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: ‘Tidak boleh membaca sedikit pun dari Al-Qur’an bagi orang yang junub dan wanita yang haid." (HR. At-Tirmidzi)
Hadis ini menunjukkan bahwa larangan membaca Al-Qur’an bagi orang yang junub dan wanita yang haid adalah bersifat mutlak, tanpa ada pengecualian atau keringanan. Hal ini juga ditegaskan oleh sebagian besar ulama, terutama dari mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali, yang berpendapat bahwa haram hukumnya bagi wanita yang haid untuk membaca Al-Qur’an, baik sedikit maupun banyak, baik dengan lisan maupun dengan hati, baik dengan menyentuh mushaf maupun tanpa menyentuhnya, baik dengan tujuan ibadah maupun dengan tujuan lain, seperti belajar, mengajar, atau murajaah.
Alasan mereka adalah karena membaca Al-Qur’an adalah salah satu bentuk penghormatan dan pengagungan terhadap kitab Allah SWT, yang harus dilakukan dengan keadaan yang suci dan bersih. Wanita yang haid dianggap tidak suci dan tidak bersih, karena darah yang keluar dari rahimnya adalah najis dan kotor. Oleh karena itu, wanita yang haid tidak pantas untuk menyentuh atau membaca Al-Qur’an, karena hal itu akan menodai kesucian dan kemuliaan Al-Qur’an.
Selain itu, mereka juga berdalil dengan analogi atau qiyas, yaitu membandingkan hukum membaca Al-Qur’an dengan hukum shalat. Shalat adalah salah satu ibadah yang paling utama dan wajib bagi setiap muslim, yang juga harus dilakukan dengan keadaan yang suci dan bersih. Wanita yang haid tidak boleh shalat, karena ia tidak suci dan tidak bersih. Maka, dengan qiyas, wanita yang haid juga tidak boleh membaca Al-Qur’an, karena membaca Al-Qur’an juga merupakan ibadah yang harus dilakukan dengan keadaan yang suci dan bersih.
Namun, tidak semua ulama sepakat dengan pendapat ini. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa boleh hukumnya bagi wanita yang haid untuk membaca Al-Qur’an, baik sedikit maupun banyak, baik dengan lisan maupun dengan hati, asalkan ia tidak menyentuh mushaf secara langsung. Ulama yang berpendapat demikian adalah Imam Dawud, Imam Qadhi Abu Thayyib, Ibnus Shabbagh, dan sebagian ulama lainnya. Selain itu, menurut mazhab Imam Abu Hanifah, wanita yang haid hanya boleh membaca sebagian ayat Al-Qur’an, bukan keseluruhannya.
Alasan mereka adalah karena tidak adanya dalil yang shahih dan jelas yang melarang wanita yang haid untuk membaca Al-Qur’an. Ayat Al-Waqi’ah yang disebutkan di atas hanya berbicara tentang menyentuh Al-Qur’an, bukan tentang membacanya. Hadis yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi juga diragukan kekuatannya, karena ada perbedaan pendapat tentang keshahihan sanad dan matannya. Selain itu, hadis tersebut juga bisa dimaknai secara khusus, yaitu hanya melarang membaca Al-Qur’an dengan tujuan ibadah, bukan dengan tujuan lain, seperti belajar, mengajar, atau murajaah.
Selain itu, mereka juga berdalil dengan beberapa hadis dan peristiwa yang menunjukkan bahwa bolehnya wanita yang haid untuk membaca Al-Qur’an. Di antaranya adalah:
- Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, dari Aisyah RA, bahwa ia pernah melakukan umrah bersama Rasulullah SAW, tetapi ia haid sebelum thawaf. Maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Lakukanlah apa yang dilakukan oleh orang yang haji, kecuali jangan thawaf di Baitullah dan jangan shalat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa wanita yang haid boleh melakukan ibadah-ibadah lain selain shalat dan thawaf, seperti sa’i dsb.
- Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Ummu 'Atiyyah RA, bahwa ia pernah mengikuti perang bersama Rasulullah SAW, dan ia haid di tengah perjalanan. Maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Ikutlah kami dan ambillah bagian dalam kebaikan dan keburukan bersama kami, dan lakukanlah apa yang dapat kamu lakukan dari ibadah, kecuali shalat.” (HR. Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa wanita yang haid boleh melakukan ibadah-ibadah lain selain shalat, seperti berjihad, berdzikir, berdoa, dan lain-lain. Hal ini juga mencakup membaca Al-Qur’an, karena membaca Al-Qur’an adalah salah satu bentuk ibadah yang paling utama dan paling bermanfaat.
- Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, dari Ibnu Abbas RA, bahwa ia pernah membacakan Al-Qur’an kepada seorang wanita yang haid. Maka seorang laki-laki bertanya kepadanya: “Bagaimana engkau membacakan Al-Qur’an kepada wanita yang haid?” Ibnu Abbas menjawab: “Dia bukan mushaf.” (HR. Abu Dawud)
Hadis ini menunjukkan bahwa bolehnya wanita yang haid untuk mendengarkan Al-Qur’an, bahkan dari lisan seorang laki-laki. Jika demikian, maka lebih utama lagi bagi wanita yang haid untuk membaca Al-Qur’an dengan lisan atau hatinya sendiri, asalkan ia tidak menyentuh mushaf secara langsung.
- Peristiwa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari Aisyah RA, bahwa ia pernah mengajarkan Al-Qur’an kepada seorang wanita yang haid. Maka ia menyuruh wanita itu untuk mengambil mushaf dari bawah bantalnya, dan ia memberitahunya: “Tidak apa-apa, karena engkau haid, bukan junub.” (HR. Bukhari)
Peristiwa ini menunjukkan bahwa bolehnya wanita yang haid untuk mengambil mushaf dengan sarung tangan atau kain, dan belajar Al-Qur’an dari seorang wanita lain yang juga haid. Jika demikian, maka lebih utama lagi bagi wanita yang haid untuk belajar Al-Qur’an dari dirinya sendiri, asalkan ia tidak menyentuh mushaf secara langsung.
Dari beberapa dalil dan peristiwa di atas, dapat disimpulkan bahwa ada ruang keringanan bagi wanita yang haid untuk membaca Al-Qur’an, terutama dengan tujuan belajar, mengajar, atau murajaah. Hal ini karena membaca Al-Qur’an adalah salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, dan untuk memelihara hafalan yang telah diberikan oleh Allah SWT. Wanita yang haid tidak boleh terputus dari Al-Qur’an, karena Al-Qur’an adalah cahaya, petunjuk, dan penyembuh bagi hati.
Namun, keringanan ini juga harus disertai dengan beberapa syarat dan adab, agar tidak menyalahi hukum dan mengurangi penghormatan terhadap Al-Qur’an. Di antaranya adalah:
Wanita yang haid tidak boleh menyentuh mushaf secara langsung, tetapi harus menggunakan sarung tangan, kain, atau alat lain yang dapat menghalangi kontak langsung dengan mushaf. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surat Al-Waqi’ah ayat 79, yang melarang menyentuh Al-Qur’an kecuali orang-orang yang disucikan.
Wanita yang haid tidak boleh membaca Al-Qur’an dengan suara keras, tetapi harus membacanya dengan suara pelan atau dalam hati. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, yang melarang membaca Al-Qur’an bagi orang yang junub dan wanita yang haid. Meskipun hadis ini diragukan kekuatannya, tetapi tetap harus dijadikan sebagai saran dan pencegahan.
Wanita yang haid tidak boleh membaca Al-Qur’an dengan tujuan ibadah, tetapi harus membacanya dengan tujuan belajar, mengajar, atau murajaah. Hal ini berdasarkan makna hadis yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, yang bisa dimaknai secara khusus, yaitu hanya melarang membaca Al-Qur’an dengan tujuan ibadah, bukan dengan tujuan lain.
Wanita yang haid harus membersihkan diri dan tempatnya sebelum membaca Al-Qur’an, dengan cara memakai pakaian yang bersih, membasuh wajah dan tangan, dan membersihkan darah yang mungkin menempel di tubuh atau pakaian. Hal ini berdasarkan adab dan kesopanan dalam membaca Al-Qur’an, yang harus dilakukan dengan keadaan yang suci dan bersih.
Wanita yang haid harus mengucapkan isti’adzah (minta perlindungan kepada Allah SWT) dan basmalah (mengucapkan nama Allah SWT) sebelum membaca Al-Qur’an, dan mengucapkan hamdalah (memuji Allah SWT) dan salawat (mendoakan Nabi Muhammad SAW) setelah membaca Al-Qur’an. Hal ini berdasarkan sunnah dan kebiasaan dalam membaca Al-Qur’an, yang harus dilakukan dengan penuh penghormatan dan pengagungan.
Demikianlah beberapa hal yang perlu diketahui tentang hukum murajaah Al-Qur’an bagi wanita haid. Semoga artikel ini bermanfaat dan memberikan pencerahan bagi para wanita penghafal Al-Qur’an, agar tidak putus asa dan tidak meninggalkan Al-Qur’an di tengah haidnya. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kemudahan, keberkahan, dan keberhasilan bagi para wanita penghafal Al-Qur’an. Aamiin.
