STRATEGI DAKWAH ISLAM DI NUSANTARA
Strategi Penyebaran Islam
Penyebaran agama Islam di seluruh wilayah Indonesia berlangsung secara periodik dan menggunakan strategi dakwah yang damai, disesuaikan dengan adat istiadat penduduk tanpa paksaan dan kekerasan. Strategi ini meliputi berbagai media seperti perdagangan, perkawinan, pendidikan, ajaran sufi, hingga kesenian, sehingga Islam mudah diterima oleh masyarakat.
Proses penyebaran Islam dari abad ke-7 hingga ke-16 M dominan melalui media perdagangan. Pedagang Islam dari Arab, Persia, dan India datang ke Indonesia dan menjalin kontak intens dengan masyarakat. Keberhasilan strategi ini didukung oleh beberapa faktor, seperti keuntungan ekonomi dari perdagangan, partisipasi raja dan bangsawan, dan dominasi pedagang muslim dalam perdagangan internasional yang memberi mereka akses mudah ke berbagai wilayah.
Perkawinan menjadi media efektif karena pedagang muslim memiliki status sosial dan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan penduduk pribumi. Interaksi intens memicu pertukaran budaya dan nilai. Sebelum menikah, pihak pribumi diminta mengucapkan kalimat syahadat sebagai syarat sahnya perkawinan. Ini tidak hanya menciptakan hubungan harmonis, tetapi juga memasukkan ajaran Islam ke dalam keluarga pribumi, seperti pernikahan Sunan Gunung Jati dengan putri Kawunganten dan Sunan Ampel dengan Nyai Manila.
Proses Islamisasi juga terjadi melalui media politik, baik secara damai maupun melalui penaklukan. Ketika seorang raja atau penguasa memeluk Islam, rakyat di bawahnya seringkali mengikuti. Di Maluku dan Sulawesi, penguasa yang masuk Islam akan memberlakukan kebijakan dan mempromosikan Islam dalam pemerintahan. Penaklukan terhadap kerajaan non-Islam juga diikuti upaya penyebaran ajaran Islam kepada masyarakat yang baru ditaklukkan, mencakup pembangunan masjid dan pendirian lembaga pendidikan ulama.
Pesantren menjadi instrumen utama dalam proses Islamisasi. Pesantren bukan hanya lembaga pendidikan, tetapi juga pusat pembentukan karakter dan penyebaran nilai-nilai Islam. Tokoh seperti Sunan Ampel dan Sunan Giri memainkan peran sentral. Pesantren menyiapkan calon juru dakwah. Para santri tidak hanya belajar ilmu agama, tetapi juga keterampilan praktis seperti pertanian dan perdagangan. Setelah lulus, mereka dikirim berdakwah ke seluruh penjuru Indonesia, membawa misi Islam dan membentuk pola pikir masyarakat setempat.
Islamisasi melalui seni tradisional seperti gamelan dan wayang merupakan fenomena yang memperlihatkan kreativitas para penyebar agama. Wali Sanga, tokoh penyebar Islam pada abad ke-14 hingga ke-15, menggunakan seni sebagai sarana dakwah yang efektif di pusat-pusat kebudayaan seperti Yogyakarta, Solo, dan Cirebon. Seni gamelan dan pertunjukan bukan hanya sekadar hiburan, tetapi menjadi sarana untuk menyampaikan nilai-nilai Islam, di mana cerita-cerita yang diangkat mengandung ajaran moral dan spiritual.
Para sufi mengajarkan tasawuf yang diramu dengan ajaran yang sudah dikenal masyarakat Indonesia. Ajaran ini mudah diterima karena beberapa hal: (a) Islam bersifat terbuka, (b) Penyebaran dilakukan secara damai, (c) Islam tidak mengenal diskriminasi dan kedudukan seseorang, (d) Perayaan agama dilakukan dengan sederhana, dan (e) Adanya kewajiban zakat untuk kesejahteraan masyarakat. Pendekatan ini mengakomodasi budaya lokal tanpa menghilangkan identitasnya.
1. Tahap Kehadiran Pedagang Muslim (sebelum abad ke-13 M): Pendapat masuknya Islam pada abad ke-7 M atau ke-1 H dikemukakan oleh Syekh Syamsudin Abu Abdillah Muhammad bin Talib Ad-Dimasyqi, yang menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui Champa (Kamboja dan Vietnam) sejak zaman khalifah Usman bin Affan.
2. Tahap Terbentuknya Kerajaan Islam (13-16 M): Fase ini ditandai dengan munculnya pusat-pusat kerajaan Islam. Bukti jelasnya adalah ditemukannya makam Malik ash-Shalih di Aceh Utara dengan angka tahun 1297 M, sebagai pendiri Kerajaan Samudra Pasai.
3. Tahap Pelembagaan Islam: Pada fase ini, ajaran Islam terlembagakan melalui pusat-pusat pendidikan seperti pesantren yang berguru ke Giri, Gresik. Agama Islam tersebar luas ke pesisir Sumatera, Semenanjung Malaka, Demak, Gresik, Banjarmasin, dan Lombok. Pusat-pusat kekuasaan Islam seperti Demak, Cirebon, dan Banten menjadi motor penggerak kegiatan keagamaan.
